JAKARTA,KALTENGKITA.COM– Setelah akses ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dibuka kembali, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong industri memperluas pasar ekspor. Salah satu negara yang dinilai potensial adalah Pakistan.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menjelaskan, pemerintah sedang menjalankan program percepatan distribusi CPO, refined bleached deodorized palm oil (RBDPO), dan used cooking oil (UCO) melalui ekspor, sejak 7 Juni hingga 31 Juli.
”Hal itu dilakukan dalam rangka optimalisasi, stabilisasi produksi, serta rantai perdagangan CPO, RBDPO, dan UCO,” katanya kemarin (14/6).
Program tersebut berlaku bagi seluruh eksportir dengan alokasi ekspor ditetapkan 1 juta ton. Dan, setiap eksportir yang mengikuti program diberi alokasi sedikitnya 10 ton kelipatannya.
”Saya yakin terbitnya regulasi terkait ini dapat mempercepat impor CPO dan turunannya ke Pakistan,” ujarnya.
Agus berharap pertemuan bilateral ini juga bisa memperluas hubungan kerja sama kedua negara di bidang ekonomi. Yaitu, kelanjutan perundingan Indonesia-Pakistan Trade in Goods Agreement (IP-TIGA).
Upaya itu dilakukan dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi kedua negara pascapandemi Covid-19.Agus optimistis peningkatan kerja sama di sektor industri dengan Pakistan akan mendongkrak kinerja ekspor nasional.
Total perdagangan kedua negara mencatat pertumbuhan positif 6,65 persen selama 2017–2021 dan makin naik 41,77 persen selama 2021–2022.Sementara itu, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menuturkan, pihaknya sangat mengapresiasi kebijakan yang diambil pemerintah karena sudah mengizinkan kembali ekspor CPO.
Menurut dia, kebijakan larangan ekspor CPO sangat memberatkan industri. Baik dari sisi hilir maupun hulu. Di hilir, buah sawit milik petani sulit terserap oleh industri. Di hulu, pabrikan tidak bisa menjual CPO ke luar negeri.
”Memang kita sangat bersyukur, baik di industri hulu maupun di industri hilir, atas dibukanya kembali keran ekspor,” tutur Eddy.
Apalagi, lanjut Eddy, larangan ekspor kemarin berbarengan dengan tingginya produksi buah sawit. ”Ketika dua hal tersebut terjadi dalam waktu yang sama, kondisinya jadi sulit,” ungkapnya. (Redk-2)