PALANGKA RAYA, KALTENGKITA.COM – Polda Kalimantan Tengah (Kalteng) menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema transformasi peran Polri dalam penyelesaian konflik sosial sengketa lahan melalui pendekatan kearifan lokal falsafah huma Betang.
Kegiatan dihadiri seluruh ormas-oramas kepemudaan Dayak, Jawa, Sunda hingga ormas lain di Kalteng. Hadir pula para ketua ormas, LSM hingga organisasi kepemudaan. Pertemuan dipimpin Karorena Polda Kalteng, Kombes Pol Andreas Wayan Wisaksono di Aula Graha Bhayangkara Mapolda Kalteng, Kamis (18/7/2024).
Andreas Wayan Wisaksono menyampaikan bahwa konflik sosial terkait sengketa lahan selalu menjadi permasalahan yang terjadi di Kalteng dan sulit untuk dihentikan secara permanen.
Faktor-faktor seperti kesenjangan ekonomi, perubahan peraturan dan regulasi yang seringkali berubah, menyebabkan persepsi yang berbeda antara masyarakat dan perusahaan, yang kemudian memunculkan sengketa dan tuntutan yang bermacam-macam.
“Sosialisasi aturan yang telah berubah masih belum maksimal dilakukan, sehingga masyarakat dan perusahaan belum sepenuhnya memahami hak dan kewajiban mereka. Banyak sengketa lahan hingga menimbulkan konflik sosial di Kalteng dan tidak bisa dihentikan secara permanen. Maka itu, melalui forum ini, kita bisa satu langkah agar hal itu bisa diatasi,” ujarnya.
Andreas Wayan Wisaksono mengatakan, bahwa selama ini, konflik sosial akibat sengketa pertanahan sering terjadi di Kalimantan Tengah, baik masyarakat dengan masyarakat, maupun masyarakat dengan suatu perusahaan.
Dirinya menilai bahwa konflik sosial tersebut kerap terjadi akibat adanya peraturan yang berubah-ubah sehingga masyarakat maupun perusahaan tentunya akan mendasari suatu aturan yang paling menguntungkan masing-masing pihak.
“Misalnya saja seperti penerapan plasma, muncul peraturan pada tahun 2007, kemudian dirubah pada 2013 dan terakhir pada 2021. Ini yang kerap menjadi permasalahan. Maka itu Polri melakukan responsibilitas dan transparansi berkeadilan yang menyertai pendekatan polisi prediktif yang menekankan agar setiap anggota Polri mampu melaksanakan tugasnya secara cepat dan tepat, responsif, humanis, transparan, bertanggung jawab, serta berkeadilan sejalan dengan tuntutan dari masyarakat,” tegasnya.
Menurut Perwira Menengah Polri ini, masyarakat Kalteng adalah masyarakat yang menjunjung tinggi budaya dan adat, Bahkan taat atas aturan, termasuk mengedepankan musyawarah dan diskusi untuk menyelesaikan persoalan, sehingga kenapa harus bertikai.
“Saya sampaikan masyarakat di Kalteng cenderung patuh pada peraturan, sehingga penting untuk terus meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan aturan yang berlaku. FGD ini menjadi wadah diskusi yang penting untuk merumuskan langkah-langkah konkret dalam penyelesaian konflik sosial sengketa lahan di Kalteng melalui pendekatan kearifan lokal falsafah huma Betang,” tegasnya lagi.
Kombes Pol Andreas Wayan Wisaksono menekankan, Forum Kebangsaan yang juga akan melibatkan berbagai pihak sehingga dalam satu wadah ini bisa memberikan fasilitas bagi masyarakat untuk menyelesaikan permasalahannya dengan damai. Forum yang dibentuk ini atas dasar kearifan lokal, yakni falsafah huma betang.
“Karena kami ingin penyelesaian ini dapat menghasilkan keputusan yang damai.Perencanaan program yang baik dengan disertai manajemen resiko yang terukur. Mitigasi resiko dilakukan sejak awal sehingga dapat meminimalisir resiko-resiko yang berpotensi menghambat pelaksanaan proyek perubahanm” tegasnya.
Ia menambahkan, melalui langkah ini, menjadi masukan dalam pembuatan kebijakan ke depan terkait resolusi konflik sengketa lahan, khususnya pemulihan kondisi Harkamtibmas untuk meningkatkan kepercayaan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
“Memberikan keadilan bagi masyarakat yang terdampak konflik dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang resah terhadap aset tanah yang dimiliki. Semua harus satu langkah dan satu pandangan,” tandasnya. (B/KK-3)