KALTENGKITA.COM-Ginjal sering disebut sebagai buah pinggang yang berfungsi menyaring darah. Ketika fungsi ginjal terganggu sampai berujung Gagal Ginjal Kronik (GGK), untuk memperpanjang harapan hidup pasien umumnya ditangani dengan cuci darah atau hemodialisa. Pengobatan lainnya adalah dengan transplantasi ginjal.
Dalam konferensi pers virtual, Dokter Spesialis Urologi Dr. dr. Nur Rasyid, Sp.U (K) yang juga Ketua ASRI Urology Center (AUC) RS Siloam ASRI mengatakan penyakit Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan salah satu dari penyakit yang menyerap dana besar pada pembiayaan kesehatan pemerintah melalui BPJS, sehingga menjadi penyakit yang diutamakan penyelesaiannya oleh Kemenkes RI. Gagal ginjal masih menjadi masalah serius yang perlu ditanggulangi di Indonesia, di mana tingkat kejadian gagal ginjal yang kronik meningkat dari 0,2 persen pada 2013 menjadi 0,38 persen pada 2018.
Ia juga menerangkan bahwa jika dibandingkan dengan hemodialisis kronik, transplantasi ginjal memiliki keunggulan dalam hal memperpanjang angka harapan hidup. Transplantasi memperbaiki kualitas hidup serta efisiensi total pembiayaan jangka panjang.
Bagaimana Keberhasilan Transplantasi Ginjal di Indonesia?
Transplantasi ginjal sudah dilakukan di Indonesia sejak tahun 1977, namun baru berkembang pesat pada tahun 2011 dan sampai saat ini telah dilakukan lebih dari 1.200 kasus (jumlah yang sangat kecil dibandingkan populasi & penderita GGK).
Awalnya, prosedur dilakukan dengan memasukkan alat laparaskopi melalui rongga perut (peritoneum dimana terdapat usus dan organ-organ lain), kemudian membuka ruangan belakang tempat ginjal berada.
“Sejak 2018 dikembangkan teknik baru, laparaskopi langsung ke lokasi ginjal (retroperitoneal), hal ini membutuhkan keterampilan yang lebih baik dari operator, namun memberikan keuntungan yaitu komplikasi yang lebih rendah bagi pendonor,” jelasnya.
“Kami operasi pengangkatan ginjal donor dilakukan 100 persen dengan laparoskopi, awalnya melalui prosedur transperitoneal dengan keuntungan lapangan pandang operasi yang lebih luas, dan secara teknis lebih mudah dibandingkan retroperitoneal. Pengembangan laparaskopi donor nefrektomi melalui retroperitoneal dimulai dengan membuat ruangan baru di area ginjal, yang bisa memberikan akses langsung ke pembuluh darah ginjal tanpa melalui rongga perut dan memindahkan usus besar sehingga menurunkan risiko komplikasi,” ujar dr. Nur Rasyid.
Pada tahun 2020, tim transplantasi sudah mulai mengembangkan teknik laparoskopi retroperiteneal. Dalam proses operasi transplantasi ginjal pada resipien (penerima), secara fundamental yang harus dikuasai operator adalah penyambungan pembuluh darah (anastomosis vaskuler) dari donor ke resipien.
Seseorang yang memiliki faktor risiko juga diminta melakukan diagnosis dini. Caranya dengan mengendalikan faktor risiko PGK seperti hipertensi, diabetes dan lainnya memegang peranan penting untuk mencegah kerusakan ginjal dan menjaga kualitas hidup. (Redk-2)